Di kecamatan Sampang, kabupaten Cilacap terdapat sebuah desa bernama desa Paketingan. Desa Paketingan merupakan salah satu desa yang luas yang dipadati oleh jumlah penduduk dengan mata pencaharian utama sebagai petani. Masyarakat desa setiap hari disibukkan dengan kegiatan di sawah untuk menggarap lahan hingga musim panen tiba. Dahulu desa Paketingan disebut juga sebagai desa penghasil jeruk dan ikan kating. Tidak heran jika musim hujan banyak anak-anak pergi ke sungai untuk mencari ikan setelah pulang sekolah. Biasanya anak-anak juga memanfaatkan air sungai untuk berenang sambil bermain dengan teman-teman lainnya. Hampir semua aktivitas warga desa Paketingan berhubungan dengan alam. Kehidupan masyarakat desa Paketingan setiap pagi dan sore biasanya pergi ke sawah untuk menggarap lahan padi yang mengalami musim panen sebanyak dua kali setiap tahunnya.

Pada zaman dahulu di desa yang terhampar lahan hijau berupa tanaman padi tersebut dilanda adanya musibah besar. Terjadi bencana banjir besar yang menurut leluhur diakibatkan oleh batu besar yang membawa air hingga banjir pun sampai ke desa-desa yang berada di kecamatan Sampang. Banjir membawa air yang mengalir dari arah utara menyebar hingga menenggelamkan beberapa desa di kecamatan Sampang. Leluhur desa Paketingan beranggapan bahwa batu besar yang menyebabkan banjir berasal dari Gunung Slamet, Banyumas membawa air hingga sampai di kecamatan Sampang. Setiap desa yang dilalui oleh batu besar tersebut pasti lenyap karena tenggelam. Hingga akhirnya batu besar tersebut sampai di desa Paketingan. Berbeda dengan desa lainnya yang lenyap, desa Paketingan hanya terkena bencana banjir yang tidak merata. Banjir dapat berhenti dan tidak menimbulkan kerugian yang parah. Tempat pencaharian warga tetap dapat digunakan dan para petani tidak mengalami kerugian yang besar seperti desa lainnya. Hal tersebut disebabkan karena batu besar yang membawa air banjir berhenti tepat di makam para leluhur desa Paketingan.

Makam leluhur tersebut tidak berada di Tempat Pemakaman Umum (TPU) melainkan terletak tepat di sebelah pertigaan jalan raya yang menghubungkan antara desa Paketingan dengan desa Pekisen. Sampai sekarang, masyarakat desa Paketingan tidak mengetahui mengapa makam leluhur terletak di sana. Warga yang sekarang tinggal di desa Paketingan tetap menghormati makam leluhur yang dimakamkan di tempat tersebut. Batu besar yang menyebabkan beberapa desa dilanda oleh bencana banjir berhenti tepat di area makam tersebut. Di area pemakaman terdapat beberapa makam leluhur yang salah satunya adalah makam Mbah Rujak Beling. Mbah Rujak Beling adalah salah satu leluhur desa yang dulunya dipercaya karena memiliki ilmu yang sakti hingga dapat mengatasi banjir di desa Paketingan. Sejak terjadinya peristiwa banjir akibat batu besar yang berhenti di area makam Mbah Rujak Beling membuat warga desa memiliki keyakinan kuat kepada sosok Mbah Rujak Beling. Meskipun tidak semua orang mengetahui tentang Mbah Rujak Beling pada saat masih hidup, tetapi kepercayaan tersebut masih ada.

Menurut penuturan dari beberapa warga desa makam tersebut dipercaya memiliki hal-hal yang berhubungan dengan sesuatu yang berada di luar akal nalar manusia. Para warga yang tinggal di dekat area makam memiliki pengalaman yang tidak terduga. Pertigaan tempat area makam tersebut dulunya pernah dipasang lampu jalan, tetapi setiap ada lampu di pertigaan pasti akan mati. Warga desa menyimpulkan bahwa para leluhur yang dimakamkan di sana tidak ingin adanya penerangan jalan di sekitar pemakaman. Selain itu, ada juga yang mengatakan jika para warga tidak boleh tidur dengan meletakkan kaki ke arah makam. Konon bagi orang yang melakukannya maka secara tidak sadar akan mengalami perubahan posisi tidur saat terbangun. Perilaku tersebut dianggap tidak menghormati para leluhur, sehingga warga sekitar harus bertindak lebih sopan. Makam para leluhur desa Paketingan sudah rata dengan tanah bahkan sudah tidak ada batu nisan. Biasanya makam dikunjungi pada bulan Syura sesuai dengan penanggalan Jawa. Jika ada orang yang memiliki hajat atau berkeinginan untuk menikah juga melakukan ziarah makam untuk nyekar ke makam Mbah Rujak Beling. Kepercayaan tersebut tentu tidak dipercayai oleh semua orang, meskipun ada sebagian masyarakat yang tetap memiliki keyakinan terhadap kejadian tersebut.

Bencana banjir yang tidak melanda desa Paketingan secara keseluruhan menyebabkan desa tersebut tetap subur dengan hamparan lahan hijau di sekelilingnya. Bercocok tanam padi tetap dilakukan hingga saat ini. Sejak terjadinya peristiwa bencana banjir yang tidak melanda desa Paketingan menyebabkan makam Mbah Rujak Beling banyak dikunjungi oleh warga desa. Setiap menjelang musim tanam padi datang para warga desa Paketingan mendatangi makam Mbah Rujak Beling. Kepercayaan terhadap kekuatan Mbah Rujak Beling yang dapat menghentikan banjir menjadi penyebab diadakannya upacara selamatan di makam tersebut. Para petani memiliki harapan untuk kelancaran pengairan air sejak musim tanam padi hingga panen. Selain itu, para warga juga meminta keselamatan untuk hidup. Upacara yang biasanya dilakukan oleh warga desa tersebut dinamakan “krapyak”, yaitu upacara yang sudah menjadi tradisi warga desa Paketingan yang diikuti oleh warga yang didominasi oleh wanita yang sudah berumur dengan membawa berbagai kebutuhan upacara selamatan. Upacara selamatan biasanya diikuti oleh kaum wanita khususnya orang-orang yang disepuhkan atau dituakan di desa. Tidak ada peralatan khusus yang digunakan untuk melakukan upacara krapyak. Serangkaian kegiatannya pun dilakukan secara sederhana dengan mementingkan tujuan dari upacara adat tersebut.

Tradisi upacara krapyak dilakukan dengan duduk di atas tikar atau daun pisang menghadap ke arah makam Mbah Rujak Beling dan leluhur lainnya yang dimulai dengan doa bersama. Dalam upacara krapyak seorang pemimpin adat yang sudah sepuh memimpin doa bersama untuk meminta keselamatan dan perlindungan dari Allah SWT. Pemimpin adat dalam upacara krapyak sudah melalui pergantian selama beberapa kali. Dahulu bagi orang yang dianggap memiliki keturunan dari para leluhur dan sebagai orang yang dituakan harus membawa gulai kambing, tetapi tradisi tersebut saat ini tidak harus dilakukan. Para warga dapat membawa nasi tumpeng beserta dengan lauk-pauknya. Semua warga juga membawa bunga 7 rupa untuk ditaburkan di atas makam. Setelah serangkaian upacara adat dilakukan, maka upacara krapyak diakhiri dengan makan bersama. Para warga saling bertukar lauk-pauk dengan yang lainnya. Upacara krapyak yang dilakukan di area makam Mbah Rujak Beling hingga sekarang masih dilestarikan dan menjadi tradisi warga desa Paketingan.

*) Cerita rakyat ini berasal dari Desa Paketingan, Kecamatan Sampang, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah

 Diana Wulandari, lahir di Cilacap 11 November 2000. Mahasiswa program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UMP. Ia saat ini tinggal di Paketingan, Sampang, Cilacap. Karyanya yang sudah dimuat pada media massa berupa esai berjudul “Pembelajaran Daring Pengaruhi Keefektifan Belajar” dalam rubrik Harian Bhirawa Surabaya.

 

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *