Bila Lelaki itu Tak Pulang

Nisa Ayumida

Bila malam telah tunai ia selalu ingin melampiaskan segala penat yang ada di dada. Telah begitu lama ia merasakan sesak yang dirinya tak tahu kepada siapa hendak berbagi. Sedang kepada seseorang yang semestinya, Tuhan seakan tak menitip isyarat apa pun kecuali kekosongan. Lebih dari sembilan puluh hari ia masih tak dapat menemukan kejelasan yang pasti kecuali hanya tempat di mana laki-laki itu bekerja. Dia memang tak sendiri mengarungi laut lepas. Namun bukan hanya soal keselamatan yang perempuan itu pikirkan, tapi ada sisi hati lain yang begitu berarti yang ia cemaskan.

Sesungguhnya ia sangat cemas. Selama kalender gantung telah dilipat berapa kali sejak keberangkatannya kemarin, berita televisi selalu mengabarkan hal-hal yang dapat mendebarkan hatinya, membuat jantungnya berdetak tak sejawarnya. Para penyiar televisi selalu saja doyan menyajikan berita yang membuatnya begidik. Pada seorang awam seperti ia, melayang dalam pikiran yang tidak tahu. Baginya, entah ini ulah media atau memang benar. Ditambah hal-hal yang menyita pikirannya selama ini. Sedang ia menelpon tak pernah dia angkat. Hanya begitu selalu, ketika debur ombak menggiring kenangan ke depan pintu maka selalu tak dapat ia tahan. Sesak yang dalam ia lepas pada malam yang sepi dan debur ombak di tubir pantai. Selalu sendiri.

[iklan]

Ia teringat ketika tak sengaja Agus sedang menabrak dirinya maka tertangkaplah badan mereka yang sedang berhimpitan di pojok koridor kamar mandi. Lalu seorang guru seolah tak mau mendengar penjelasan apa pun kecuali dapat menghakimi mereka. Ramailah seluruh ruang kelas yang hanya enam ruangan pada insiden siang itu. Padahal waktu itu Agus sedang kepergok tak berkaos kaki dan mencoba lari. Seperti kelapa yang jatuh tak terduga. Bukan lari dan berhasil yang ia dapat, melainkan berdiri dibawah tiang bendera dengan posisi hormat. Jadilah Agus dan Amina bahan tertawaan seluruh murid. Hingga siang yang terik itu menguarkan bau keringat.

Waktu kemudian merambat secara perlahan. Secara perlahan pula, Tuhan menciptakan sebuah perkenalan layaknya daun dalam arus sungai, tenang.

Ia selalu teringat masa kanak-kanak yang penuh canda itu. Saat tak ada sedikit pun air mata yang menggandengi kehidupannya. Masa kanak-kanak yang selalu indah. Masa kanak-kanak yang mengenalkannya pada laki-laki yang membuat detik hidupnya jadi berirama.

Perempuan itu hidup sebatangkara setelah neneknya dipanggil untuk berpualang kerumah Tuhan.

Ketika itu, ia telah pada masa menunggu kelulusan sekolah tingkat SMP. Hampir tak ada sedikit pun titik yang berisyarat bahwa perpisahan dengan orang-orang tersayang seakan sudah dipelipis mata.

Ketika malam di mana neneknya berpulang, ia mendadak menjadi perempuan yang bisu, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya yang ranum. Tak ada segaris senyum yang tergurat. Ia hanya berpikir bagaimana ia akan menjalani hidup setelah hari itu dan seterusnya. Ia hanya berpikir bagaimana ia akan hidup sendirian selama bentangan umurnya masih panjang dalam kitab Tuhan. Setelah kelulusan selesai. Enam bulan setelah itu, Tuhan menitipkan cerita baru pada dirinya. terlalu cepat. Hampir tanpa basa basi, laki-laki itu menyuntingnya dengan tanpa banyak cakap. Hanya ada tokoh agama setempat, beberapa orang saksi, dan sepasang pengantin itu mengucap janji depan penghulu desa. Tidak ada yang istimewa, kecuali kepasrahan perempuan itu menjadi  istri laki-laki yang menabraknya dulu.

Saat ini, satu-satunya hal yang menghubungkan ia dan  laki laki itu adalah ingatan. Meski jarak membentang jauh namun ingatan adalah satu-satunya hal yang dapat menghubungkan ia dan suaminya. Ingatan yang terus merapat ke depan pintu. Dari balik jendela kamar ia melihat lampu-lampu yang pada lensa matanya begitu kecil dalam pandangan mata. Lampu kecil yang menemani kapal menjelajahi laut. Tapi ia tahu, itu bukanlah lampu kapal suaminya.

Dia sedang bekerja… ia mendesis. Meyakinkan diri sendiri adalah jalan terbaik baginya. Kendati tak dapat dihitung berapa kali ia telah su’udzan pada Agus. Ia terlihat bukan pada masanya. Mata bulat yang dulu jadi lirikan teman lelakinya kini seperti lilin yang berjuang melawan tiupan angin. Ia juga tak absen mendengar cerita kalau para lelaki berpamit pergi untuk melaut, namun bukan ikan yang berseliweran di kedalaman laut yang ia cari, malah banting setir di tengah jalan memasuki gang-gang kecil tempat ranjang-ranjang tersedia bagi siapa pun yang hendak melabuhkan rasa atau penat. Akhirnya tak jadi melabuhkan perahu.

Telah berapa malam-malam panjang dan debur ombak yang ia habiskan sendirian di rumah. Tanpa bisa tahu bagaimana laki-laki itu bekerja di sana. Tanpa ia tahu bagaimana dia menikmati makanan yang entah siapa memasaknya. Ahh…. aku tiba-tiba tidak paham, desisnya.

Meski laki-laki itu terlihat baik-baik saja. Namun yang jadi pertanyaannya apakah dia mampu bertahan dari segala bentuk pengaruh buruk dan tawaran lainnya? bila begitu, ia seakan merasa begitu sulit untuk memahami laki-laki sepenuhnya. Ia tidak dapat memastikan hal yang ia khawatirkan selain keselamatan suaminya.  Pikirannya jauh meremas keadaan dan amarah yang seakan berlompatan di dalam dada. Debur ombak di lautan seakan mengamuk ikut campur.  Sedang rasa khawatir tak pergi-pergi juga. Ia hanya menggeleng-geleng kepala.

Ayah kapan pulang Bu….

Anaknya yang masih kecil mengigau sambil menguap. Perempuan itu hanya menoleh. Lalu kembali menatap laut yang membentang tak bertepi. Entah sedang di sudut mana laki-laki itu menghabiskan malam sekarang. Pertanyaan itu tiba-tiba meloncat seperti ikan hiu dari dalam laut yang lepas.

Ia hanya ingin laki-laki itu pulang dengan membawa hasil tangkapan ikan atau jika tidak sekali pun ia akan tetap berdiri menunggunya di pesisir pantai. Membantu membawa berbagai macam alat perahu seperti jaring untuk dibawa pulang dan diperbaiki. Asal tak membawa perempuan lain seperti tetangga sebelah minggu lalu. Ia masih menatap laut yang lepas. Berharap suaminya tiba-tiba muncul.

Ia tahu. Saat berjanji di depan penghulu dan kepasrahan hatinya menjadi milik Agus satu-satunya, menjadi hanya memiliki Agus satu-satunya, dan memiliki Shinta yang belum lagi bersekolah TK, membuatnya terus bergeming seraya mengusir perasaan aneh yang menjejali tempurung otaknya. Dari kepala desa dulu, yang membiayai perkawinan seadanya itu ia diberi petuah. Bahwa esok, saat usia pernikahan merambat jauh tentu Tuhan lewat tangan-tanganNya akan menguji bahtera rumah tangga itu. Dan demi keutuhan rumah tangga, demi kenangan-kenangan manis bersama Agus yang dilaluinya, demi buah hati, ia teguhkan hati untuk menerima segala konsekuensi yang akan terjadi, termasuk, bila Agus pulang membawa seorang perempuan, ia akan berusaha tampil baik-baik saja. Termasuk bila ternyata Agus bermain serong di kejauhan sana, ia akan memilih pura-pura tidak tahu dan semua beres. Semua akan berjalan baik-baik saja. Ia telah tak punya orang lain selain Agus dan Shinta.

Bila lelaki itu tak pulang dan tak memberi kabar. Pada debur ombak yang menggiring kenangan merapat ke depan pintu, ia terus teguhkan hati bahwa suaminya baik-baik saja, bahwa suaminya tidak bermain serong, dan ia harus pura-pura tidak tahu apa-apa demi kehangatan dan keutuhan ia, Shinta dan laki-laki yang dipanggilnya mas Agus. Ia mendesak segala panas yang menjejali hatinya. Ia harus menjadi ibu dan istri yang baik sekali pun air mata kerap lumer dipipinya.

 Annuqayah

 

 Cerita CintaNama pena dari Roydatun Nisa’.  Tinggal di PP. Annuqayah Lubangsa Putri-Forum Literasi Santri (Frasa), serta mahasiswi INSTIK Annuqayah Prodi Syariah Guluk-guluk Sumenep Madura. Nisa Ayumida (Fb), Nisa_Ayumida (IG) taniyanlanjhangblogspot.com. Cerpennya di muat di Apajake.Id, Kawaca.com,Takanta.id, nominasi Cerpen Festival Sastra Bengkulu 2019.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *