Laki-laki yang wajah dan gayanya agak mirip penyair milenial Beny Satrio itu sudah menghiasi layar TVRI seluruh Indonesia sejak 1978 hingga 1989, lewat acara yang wajib ditonton anak usia SD: Gemar Menggambar. Acara itu dulunya diasuh oleh Dukut Hendronoto alias Pak Ooq. Sebelumnya, sejak 1969, Pak Tino Sidin hanya beredar di TVRI Yogyakarta. Setelah TVRI tak sendirian dan muncul Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), Tino Sidin mengasuh acara Mari Menggambar di TPI.
Generasi yang menjalani masa-masa SD sebelum 1990-an akrab dengan Pak Tino Sidin dan ingat kalimat khas yang sering diucapkannya ketika mengomentari gambar buatan anak-anak. “Bagus… Bagus… Bagus…” atau “Ya, bagus. Teruskan”. Semua gambar anak-anak adalah bagus menurut Pak Tino Sidin.
Menggambar—juga melukis—adalah hidupnya. Suatu komentar sederhana yang memacu semangat belajar anak-anak untuk menggambar, tak peduli isi gambar si anak yang sedang belajar. Menggambar bisa dilakukan dengan alat seadanya. Menurut Tino, bakat tidaklah penting dalam menggambar.
Bagi Tino, yang terpenting dalam menggambar adalah kebebasan. Di awal-awal wajahnya muncul di TVRI, seperti diabadikan Tempo (10/06/1978), Tino berpesan: “Berilah anak-anak kebebasan supaya bakat mereka lebih berkembang”. Tino lebih dikenal sebagai seorang guru ketimbang pelukis.
[iklan]
Menggambar Garis Lurus dan Lengkung
Tino Sidin kerap mengedepankan garis lurus dan garis lengkung dalam mengajar anak-anak. Dalam buku Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984 (1984, hlm. 808), Tino pernah dituduh mendikte anak-anak secara salah dalam seni lukis. Tino Sidin pun membela diri. “Saya memang tidak mengajar melukis, melainkan hanya merangsang anak-anak untuk menggambar,” ujarnya.
Tino tak melupakan apa yang ia alami waktu kecil bersama kakeknya yang seorang sais andong. Ketika Tino menggambar di atas selembar kertas, sang kakek memarahinya. “Kalau kamu main kertas-kertasan itu, nanti bagaimana cari makan?” kata kakeknya. Tapi rupanya, hingga Tino tutup usia, dengan menggambar (juga melukis) dan menjadi guru gambar, sang cucu tidak hanya bisa bertahan hidup, tapi juga dikenal banyak orang.
Di kemudian hari, Tino menjadi kakek-kakek yang mengajari ribuan anak penonton TVRI. Jasa Tino yang tak kalah penting adalah menyusun buku berjudul Gambar Menggambar. Karya-karya Tino lainnya yang berkaitan erat dengan upaya membangkitkan kegairahan dan keberanian anak-anak untuk menggambar adalah: Bawang Merah – Bawang Putih: Ibu Pertiwi, Membalas Jasa dan Menggambar Dekoratif.
Tino diberi peran untuk menjadi penatar para guru gambar di semua provinsi Indonesia—yang waktu itu 27 jumlahnya—oleh Departemen Pendidikan dan Kubudayaan. Ketika Tino muncul di TVRI Jakarta, Daoed Joesoef adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Sejak kecil Tino aktif di Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI), dan pada zaman pendudukan Jepang, Tino dipercaya menjadi guru bantu di kampung kelahirannya untuk bidang menggambar. Awalnya Tino belajar menggambar secara otodidak. Hal ini tidak aneh bila kita ketahui bahwa di tempat dia lahir dan dibesarkan ketika itu belum ada tokoh yang kini biasa disebut Pelukis.
Berperang Melawan Penjajah
Tino Sidin punya kesamaan dengan pelukis besar Sindoedarsono Soedjojono, sama-sama Putra Jawa kelahiran Sumatra (Pujasera). Soejojono lebih tua 12 tahun dari Tino Sidin. Tino Sidin lahir 25 Desember 1925 di Tebing Tinggi, Sumatra Utara. Selain itu, Soedjojono dan Tino juga pernah belajar di sekolah Taman Siswa—yang dipelopori Ki Hajar Dewantara.
Ketika pecah revolusi Indonesia 1945, Tino Sidin tidak tinggal diam. Dia pernah bergabung dalam Polisi Tentara di Divisi II Sumatra. Sekitar 1946, Tino berangkat ke Yogyakarta bersama seperti Daoed Joesoef, Deliar Noer, juga Nasjah Djamin. Daoed Joesoef, dalam Emak: Penuntunku Dari Kampung Darat Sampai Sorbonne (2010, hlm. 279) menyebut ketika berada di Yogyakarta di masa revolusi kemerdekaan, Daoed satu pondokan dengan Tino di rumah Darmosoegito, seorang pamong Taman Siswa. Selama di Yogyakarta, Tino pernah menjadi saksi jatuhnya pesawat pesawat Dakota VT-CLA di Bantul pada 27 Juli 1947. Pesawat itu membawa obat-obatan dari Singapura.
Menurut catatan Tempo, Tino pernah membantu membuat poster dan peta untuk kepentingan Republik di Bantul. Setelah Belanda menyerbu Yogyakarta pada 19 Desember 1948, Tino tidak memilih jadi tawanan perang di Yogyakarta. Ia turut bergerilya dan ikut Divisi Siliwangi ke Jawa Barat.
Daoed Joesoef dalam Dia dan Aku Memoar Pencari Kebenaran (2006, hlm. 115) menyebut bahwa Tino sering membuat sketsa yang sangat bernilai dokumenter. Semula Tino hendak menyerahkan sketsa-sketsanya itu kepada komandan kesatuan yang diikutinya sejak keluar dari Yogyakarta, Ia ingin karya-karya tersebut diarsipkan.
Siapa tahu berguna sebagai dokumentasi perjuangan pasukan Divisi Siliwangi. Namun, sang komandan menolak. Baginya, sketsa-sketsa itu karya seni yang belum selesai. Suatu kali, seperti dikisahkan Tempo, Tino ditawan Belanda.
Uniknya, militer Belanda berhenti berlaku kasar terhadap Tino setelah sang tawanan adalah pelukis. Seusai revolusi, Tino sempat kembali ke Tebing Tinggi. Deliar Noer pernah mengunjungi gurunya bersama Tino. Menurut cerita yang dituturkan laman Taman Tino Sidin, Tino sempat menjadi guru olahraga di SMP Taman Siswa, sebelum akhirnya pindah ke Binjai dan melukis dengan nama Tino’s.
Namun, Tino kembali ke Yogyakarta untuk belajar di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) pada 1961. Setahun kemudian istri dan anak-anaknya menyusul ke Yogyakarta. Di Yogyakarta pula, Tino membangun rumahnya, yang kemudian menjadi Taman Tino Sidin, dengan berutang kepada Soeharto.
Pak Tino Sidin meninggal dunia di Jakarta pada 29 Desember 1995.
sumber rujukan Sc.Tirto.id