ASAL USUL KALI YOMBOT
—Cerita Rakyat Suku Asmat–
Kaspar Manmak
Dahulu kala sebelum dihuni manusia, maka pada hilir salah satu anak Kali Uvit tinggallah roh, bernama Yombotsimbit beristrikan Jirpaut. Pada hilir kali ini terdapat hal yang istimewa, pasir, siput, kerang, ikan pari, yang hidup di dalam air. Sementara burung-burung riang terbang di atas permukaan air. Selebihnya hijau hutan luas membentang.
Konon, di Kali Au hidup seorang ibu bernama Yiciwir bersama seorang anak, Akat. Ibu dan anak itu bertolak dari kampung, menyusuri pantai selatan dengan melewati kali demi kali, mencari tempat yang memiliki sumber alam untuk bertahan hidup. Keduanya terus masuk ke hilir kemudian mendapatkan Yombotsimbit dan Jirpaut yang tinggal di Uvit, maka Yiciwir dan Akat memutuskan untuk tinggal bersama.
Sementara itu di Kali Sirets turunlah leluhur dengan mendayung perahu untuk mencari pula tempat tinggal, mereka adalah Yepemakat, Ewerakap, Dendewakap, Uwusakap, Amberepakap, dan Sondeakap. Ketika melihat tempat-tempat yang layak sebagai pemukiman, mereka turun satu demi satu. Yepemakap melihat satu tempat yang sesuai untuk dihuni, iapun memberi tanda dengan menanam satu anak panah pada muara kali. Kemudian Yepemakap terus mengikuti Ewerakap dan Dendewakap, entah kemana?
[iklan]
Di hilir Kali Uvit, Yombosimbit bersama dua orang istri, Jirpaut dan Yiciwir serta sang anak, Akat telah tinggal bersama. Pada suatu hari Yiciwir dan Akat menebang pohon rumbia untuk menokok sagu. Pucuk dari pohon rumbia itu jatuh di atas salah satu akar pohon visak tambuw –kenari hutan, tempat Bindiw, seekor pithon tinggal. Yiciwir tengah menokok sagu, sedangkan Akat mengambil pisis –daun umbi yang muda untuk dibelah menjadi dua. Bagian yang lembek adalah junum bisa digunakan sebagai awer –cawat. Bagian yang keras diambil oleh Bindiw dimasukkan ke dalam akar kayu pohon kenari. Bindiw menarik daun satu demi satu hingga daun itupun habis.
Yiciwir tertegun, ia segera melepas ambus –alat penokok sagu, dengan marah ia menegur Akat, “Akataaaa …. Domomaaa ….junum ya visak tambuw bem karuaa …. Ya teserasana ….!!” Artinya, Akat, kasihan kamu, akar pohon visak, tidak boleh dibuat junum, tempat itu ada penghuninya.
Akat pun bangkit berdiri, mengikuti mamaknya untuk menokok sagu, Yiciwir segera memberi tahu kepada sang anak, “Di dalam akar kayu itu ada penghuni seekor ular pithon yang amat besar, bernama Bindiw. Ia pasti akan mengganggu pada malam hari.”
Adapun Bindiw segera mengambil sisa junum yang dibuat akat, ia akan menuntut Akat menjadi seorang istri, karena telah mengganggu tempat yang dihuni. Menjelang malam Bindiw keluar dari akar pohon visak menuju rumah tempat tinggal Akat dan Yiciwir, menuntut perkawinan. Akat ketakutan, ia menolak, Bindiw menjadi sangat marah, iapun menggigit paha Akat. Akat tetap melawan, ia tak hendak memiliki suami seekor ular. Sepanjang malam Bindiw terus mengganggu ibu dan anak, Yiciwir sera Akat, hingga tubuh keduanya penuh goresan, terluka. Menjelang pagi Bindiw kembali ke rumah, ia perlu berisitirahat. Malam berikutnya Bindiw Kembali ke rumah Akat dengan tuntutan yang sama, mengawini gadis itu. Sekali lagi Akat menolak, ia tak sudi kawin dengan seekor ular. Penolakan itu membuat Bindiw Kembali marah, iapun kembali menggigit Akat dan Yiciwir, sehingga ibu dan anak itu menderita, karena luka-luka.
Yiciwir tak mampu bertahan dengan gangguan ini, iapun berpikir mencari suatu cara yang tepat, sehingga Bindiw tak akan pernah lagi mengganggu. Yiciwir kemudian mengambil sebongkah batu sebesar telur ayam, ia membakar batu itu ke dalam panas api semalam suntuk, hingga berubah menjadi bara. Ketika Bindiw kembali datang pada malam hari, Yiciwir berkata, “Kalau hendak mengawini Akat, maka engkau harus menangkap babi sebagai syarat.”
Bindiw menerima syarat itu, ia berburu babi pada pagi hari dan kembali menjelang siang sambil membawa seekor babi. Hasil buruan itu diberikan kepada Yiciwir dan Akat sebagai syarat. “Ayay, do daputca inim a aftammewerena …. Terimakasih,” demikian Yiciwir berucap.
Bindiw merasa senang dengan ucapan itu, persyaratannya diterima. Ia mengira akan segera mendapatkan Akat sebagai istri. Ular pithon itu tidak pernah tahu perihal rencana Yiciwir. Ketika matahari mulai condong menjelang sore, Yiciwir memanggil Bindiw dan berkata. “Daputa dia, anak mantu, coba buka mulutmu, saya ingin melihat kedua taring serta gigi yang lain. Maka datanglah Bindiw mendekati Yiciwir dan membuka mulutnya. Yiciwir pura-pura heran, tangan kiri perempuan itu memegang mulut dan gigi Bindiw, sedangkan tangan kanan diam-diam menjepit batu yang telah dibakar sehari semalam dan menyala sebagai bara. Yiciwir menyuruh Bindiw membuka mulut lebih lebar, saat itulah ia memasukkan batu panas yang telah dijepit ke mulut sang ular.
Bindiw terkejut, tenggorakannya terbakar, panas dan kesakitan, ia berlari ke arah hilir, hampir-hampir menembus Kali Jet. Yiciwir pun menegur, “Ya jet ause …. Itu Kali Jet, yang di sebelah barat adalah Kali Bou. Bindiw pun segera mengikuti jejak yang pernah ia lalui. Ketika Bindiw mulai merayap dalam kesakitan. Hujan pun turun deras, kilat dan petir menyambar, halilintar menggelegar, anginpun bertiup kencang. Hujan turun semakin deras, tegenang pada jejak tubuh Bindiw yang terus memanjang sama persis dengan bentuk anak sungai. Hujan terus menerus turun, mengantar tubuh Bindiw terus ke hilir hingga sampai ke muara antara Sakan dan Wuep. Maka matilah Bindiw setelah berlari semalam suntuk di bawah guyuran hujan yang amat deras. Jejak yang dilalui Bindiw akhirnya membekas menjadi aliran sungai.
Keesokan harinya saudara-saudara Yiciwir datang berkunjung, mereka mencemaskan keadaan Yiciwir dan Akat, karena hujan deras yang turun semalam suntuk. Mereka datang mendayung menggunakan satu perahu dan masuk ke kali menuju hilir. Di antara Wuep dan Sakan mereka melihat ada benda putih yang mengapung di atas air. Benda mengapung itu tampak seakan belahan pucuk sagu yang dibuang kemudian hanyut. Ketika mereka datang menghampiri ternyata benda putih itu bukan pucuk sagu, tetapi seekor ular pithon bernama Bindiw yang sudah mati. Merekapun mengambil ular itu, dipotong untuk dimakan dagingnya.
Setelah memungut ular pithon, maka Pombas, Ewower, Bisinset, Bumburuw, dan Korou melanjutkan perjalanan ke hilir untuk menemui Yiciwir. Merekapun terkejut mendapatkan Yiciwir dan Akat dalam keadaan terluka, penuh bekas gigitan ular. “Mengapa kulitmu penuh luka?” Pombas bertanya.
“Bindiw yang menggigit. Apakah dalam perjalanan engkau menemukan sesuatu?” Yiciwir balik bertanya.
Sebagai jawaban, tampaklah tubuh Bindiw yang sudah terpotong-potong. Yiciwir segera menyalakan api untuk memasak tubuh ular itu sambal bercerita. “Bindiw menuntut mengawini Akat. Ibu mana yang merelakan anak gadis menikah dengan seekor binatang melata? Maka kami digigit, saya membakar batu, membuka mulut Bindiw, memasukkan batu panas ke dalamnya. Matilah ular itu.”
Jejak tubuh Bindiw menjelang kematiannya digenangi air yang terus mengalir dan berubah menjadi kali. Roh pertama yang mendiami tempat itu adalah Yombotsimbit, maka kali itu diberi nama Kali Yombot. Kali yang menjadi penanda cinta kasih serta perlindungan seorang ibu kepada anak gadisnya.
Editor: Dewi Linggasari