
Asal Mula Padi
Alkisah, di Taman Swargaloka, Sunan Ibu sedang duduk termenung menunggu kedatangan putrinya, Dewi Sri Pohaci, yang sedang melanglang buana, melihat-lihat kehidupan di bumi. Belum sampai sepeminum teh lamanya menunggu, sang putri datang. Kepada ibundanya ia kemudian menceritakan perjalananannya, bahwa ada satu tempat di bumi yang belum memiliki Cihaya, sesuatu yang menjadi kebutuhan hidup manusia. Tempat tersebut bernama Buana Panca Tengah.
Sunan Ibu menghela nafas panjang, tersenyum, mikir sebentar lalu berkata: “Kalau begitu, pergilah kamu sekarang juga ke negeri Buana Panca Tengah untuk memberi Cihaya kepada penghuni negeri.” Dewi Sri Pohaci menyanggupi tugas yang diberikan oleh ibunya, tapi ia minta ditemani oleh Eyang Prabu Guruminda. Sunan Ibu mengabulkan permintaan Dewi Sri Pohaci. Eyang Guruminda lalu dipanggil, dan diperintahkan untuk menemani Dewi Sri Pohaci ke negeri Buana Panca Tengah. Sebelum berangkat, Eyang Guruminda minta waktu untuk bersemedi, mohon petunjuk kepada Hyang Jagat Dewanata.
[iklan]
Dalam semedinya, Prabu Guruminda mendapat petunjuk agar mengubah Dewi Sri Pohaci menjadi sebutir telur. Selesai dari semedinya, Prabu Guruminda segera melaksanakan petunjuk dari Hyang Jagat Nata. Dewi Sri dirubah menjadi sebutir telur dan disimpannya dalam sebuah kotak bernama Cupu Gilang Kencana. Pamit kepada Sunan Ibu, lalu berangkat menuju negeri Buana Panca Tengah.
Dengan kesaktian yang dimilikinya, Prabu Guruminda terbang ke segala penjuru, mencari negeri yang bernama Buana Panca Tengah. Tanpa ia ketahui, Cupu Gilang Kencana terbuka dan telur terjatuh ke bumi. Jatuh di suatu tempat yang dihuni oleh Dewa Anta. Oleh Dewa Anta telur tersebut diambil dan disimpan baik-baik. Sungguh ajaib, setelah beberapa waktu lamanya disimpan, telur tersebut menetas, dan lahirlah seorang bayi perempuan. Dewa Anta sangat gembira dengan kelahiran seorang bayi perempuan yang sangat cantik itu, yang tiada lain adalah Dewi Sri Pohaci. Ia merawat Dewi Sri hingga tumbuh menjadi seorang gadis dewasa yang cantik jelita.
Maka tersiarlah kabar akan kecantikan Dewi Sri ke berbagai penjuru negeri. Para raja-raja dari berbagai kerajaan berdatangan menemui Dewi Sri Pohaci dengan tujuan ingin meminangnya menjadi permaisuri. Akan tetapi Dewi Sri Pohaci menolak semua pinangan yang datang, karena teringat akan tugasnya yang belum selesai, yaitu memberikan cihaya kepada negeri Buana Panca Tengah. Menerima pinangan, berarti ia telah mengabaikan tugas yang dibebankan kepadanya.
Walaupun telah berkali-kali Dewi Sri menjelaskan alasannya kepada setiap para yang datang melamar, bahwa dirinya dilahirkan ke dunia ini adalah untuk melaksanakan tugas dari Sunan Ibu di Taman Swargaloka, yaitu untuk memberi Cihaya kepada negeri Buana Panca Tengah.
Kepada setiap raja yang berminat meminangnya, Dewi Sri menjelaskan bahwa maksud kelahirannya ke dunia ini adalah untuk melaksanakan tugas dari Sunan Ibu di Taman Sorga Loka, yaitu untuk menganugerahkan cihaya kepada negeri Buana Panca Tengah. Namun, para raja tidak perduli. Pinangan demi pinangan terus berdatangan hingga akhirnya mengakibatkan Dewi Sri jatuh sakit. Karena ia terus memikirkan tugasnya yang belum juga terselesaikan, semakin lama sakit yang dideritanya semakin parah. Merasa kalau hidupnya tidak akan lama lagi, Dewi Sri Pohaci akhirnya menyampaikan pesan terakhirnya: “Jika tiba saatnya nanti aku meninggal dunia, jangan kalian heran jika ada keanehan-keanehan di pusaraku.”
Tidak lama kemudian, dengan kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, Dewi Sri Pohaci meninggal dunia. Pesan terakhir sang Dewi terbukti. Di pusaranya tumbuh beberapa jenis tanaman yang belum pernah ada dan dikenal oleh masyarakat. Di bagian kepala tumbuh pohon kelapa, di bagian tangan tumbuh pohon buah-buahan, pada bagian kakinya tumbuh pohon ubi. Sementara di bagian perutnya, selain pohon aren juga tumbuh satu jenis tanaman yang aneh dan belum pernah ada.
***
Pada suatu hari, ada sepasang kakek-nenek yang sedang mencari kayu bakar di hutan. Tanpa sengaja mereka sampai di pusara Dewi Sri Pohaci yang sekitarnya ditumbuhi tetumbuhan aneh yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Tanaman yang berdaun bagus dan buahnya masih kecil berwarna hijau berbulu halus. Melihat dan tertarik dengan tanaman tersebut, kakek dan nenek sepakat untuk secara rutin membersihkan pusara Dewi Sri Pohaci dan memelihara tanaman aneh tersebut. Dari hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, kakek dan nenek dengan penuh kesabaran dan ketekunan membersihkan pusara dan merawat tanaman tanaman aneh tersebut. Menjelang bulan ke 5, buah yang berwarna hijau itu nampak penuh berisi sehingga buah yang setangkai itu merunduk karena beratnya.
Memasuki bulan yang ke 6, ketika kakek dan nenek menengok kembali, tumbuhan tersebut mengalami perubahan. Butiran-butiran buah yang tadinya berwarna hijau berubah menjadi kuning keemasan. Si kakek kemudian memetik buliran berwarna kuning tersebut, mengupas kulitnya dan mencicipinya. Ternyata rasanya gurih-gurih manis.
Kakek dan nenek segera menyiapkan kemenyan dan apinya untuk membakar dupa , memohon izin kepada Hyang Jagat Dewanata. Selesai upacara membakar kemenyan, kakek memotong tumbuhan aneh tersebut. Alangkah terkejutnya kakek dan nenek karena pada setiap tangkai dari tanaman yang dipotong mengeluarkan cairan bening berbau harum. Kakek dan nenek jadi heran, dan dari rasa herannya itu dalam hati kakek dan nenek timbul niat untuk menanamnya kembali. Butir-butir buah yang sudah dikumpulkan tadi disebar kembali di sekitar pusara Dewi Sri Pohaci. Hingga tanpa terasa, seiring jalannya waktu, tanaman aneh tersebut tumbuh sangat banyak dan berbuah banyak pula. Si kakek dan nenek jadi bingung karena mereka belum tahu apa nama tanaman yang mereka tanam itu. Mereka merasa kesulitan memberi nama untuk tanaman baru tersebut. Akhirnya dipilihlah nama Pare. Alasannya, dalam bahasa Sunda, sikap sulit mengambil keputusan disebut ‘Paparelean’. Sampai sekarang, tanaman baru tersebut dikenal dengan nama Pare atau Padi dalam Bahasa Indonesia.
DST, April 2020.
Cerita Rakyat Jawa Barat
Diceritakan kembali oleh: Abah Yoyok