1. RASANYA TUH, DI SINI!

Dwita Utami di Rubrik Sastra Jurnal online mbludus.com mengaku sebagai Perangkat Desa penyuka puisi. Sehari hari tinggal di Desa Tayem, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Indonesia. Karya puisinya telah terbit di berbagai media penerbitan. Satu diantara puisi guritan Penyair Dwita Utami yang berjudul AKU PILIH MARUN KAU SUKA UNGU terkesan berbeda dibandingkan dengan puisi puisinya yang lain. Puisi ini menguarkan aroma sederhana dengan kandungan rasa dan logika yang relatif dalam. Seperti kata anak milenial: Rasanya tuh, di sini!

Puisi tersebut berhasil menarik minat penulis sebagai penikmat puisi, untuk menelisiknya lebih dekat. Puisi ini bersama beberapa puisinya yang lain telah terbit di laman https://mbludus.com/puisi-puisi-Dwita-utami/. Penulis sengaja memberikan nomor urut di setiap baitnya, dari nomor urut 1 s/d 3. Adapun puisi lengkapnya di bawah ini.

AKU PILIH MARUN KAU SUKA UNGU

1.
hidup kadang memang begitu
tak sesuai inginmu
sebagai bunga yang tak pernah layu
yang hanya mencintai sajak-sajak gila penyair senja
aku sering kali pura-pura
bahagia di atas kelopak kata-kata
dibuai-rayu metafora

2.
aku sering kali lupa
pada realitas hidup yang tak pernah alpa
menyapa hati retak kaca

3.
“seiring tapi tak sejalan atau sejalan tapi tak seiring?
aku pilih marun kau suka ungu.”

Tayem, 27 Agustus 2023

2. MENIKMATI RASA, LOGIKA, DAN MAKNA

Membaca judul puisi AKU PILIH MARUN KAU SUKA UNGU, bagi generasi remaja tahun 1980-an akan mengingatkan kembali pada lirik lagu populer di sekitar tahun itu, terutama lagu dengan judul “Singkong dan Keju” yang dinyanyikan oleh Penyanyi musik Pop

Arie Wibowo. Sebagian liriknya adalah [1]:

Aku suka singkong
kau suka keju oh oh oh..

Apakah Lirik lagu tersebut telah menginspirasi Penyair atau tidak, sepertinya tidak perlu diperbandingkan, kecuali jika penikmat puisi berminat menelusuri sejarah, dan pengaruh intertekstual lirik lagu tersebut terhadap beberapa puisi yang terbit setelah lirik lagu didendangkan oleh penyanyi di jamannya.

Bagi sebagian penikmat puisi, cukuplah menikmati Puisi yang sudah tersaji tanpa harus melakukan studi perbandingan dengan puisi puisi senada yang sejaman atau pun sebelum, dan atau sesudahnya.

Untuk saat ini, penulis sebagai penikmat puisi, cukuplah menikmati puisi puisi yang sudah tayang di Jurnal mbludus.com, satu diantaranya Puisi guritan Penyair Dwita Utami.

Judul puisi /AKU PILIH MARUN KAU SUKA UNGU/ mempunyai diksi yang cenderung bisa diduga bersifat metafora, dari pada ditafsir sebagai arti sebenarnya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kenapa? Karena mungkin penyair tidak dalam posisi memilih warna, namun lebih kepada mungkin sedang tidak bisa menyampaikan apa adanya seperti yang terpikir di pikiran atau yang dirasakan di perasaan. Tetapi yang jelas ungkapan tersebut memang nyata adanya, dan bukan berasal dari mimpi, bukan juga dari hasil halusinasi. Hal ini menjadi semacam lambang dari suatu maksud tertentu [2]. Begitu juga diksi /AKU PILIH MARUN KAU SUKA UNGU/ yang menjadi judul puisi, bisa jadi arti /marun/ dan /ungu/ merupakan penegasan nyata dari sang penyair, meskipun keduanya merupakan warna kombinasi antara merah, biru dan coklat [3]. Diksi /marun/ mungkin berasal dari kata merah marun yang sengaja dihilangkan kata merahnya oleh Penyair, untuk mendapatkan efek pembacaan yang lebih tegas dan singkat, walaupun demikian masih mengandung rasa yang mendalam. Hal ini menjadi semacam kesalahan sintaksis yang disengaja oleh Penyair dan berpotensi bisa dimaklumi karena masih termasuk ranah otoritas penyair dalam hal memilih diksinya sendiri [4].

Kata /marun/ sepertinya tidak dikenal di Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kata ini kemungkinan berasal dari kosa kata bahasa Inggris maroon yang berarti merah tua.

Ada juga yang menyatakan bahwa marun merupakan lambang semangat berani

memperbaiki diri, tegas, dan pantang menyerah seperti tersirat pada simbol maroon [5].

Di sisi lain, Penyair juga menyampaikan tentang diksi /ungu/. Ada yang bilang bahwa warna ungu merupakan paduan antara warna biru dan merah, sehingga dapat digunakan sebagai lambang dari: keunikan, kemewahan, kaya raya, agung, dan bermartabat.

Meskipun arti ungu untuk setiap bangsa kadang bisa berbeda beda [6].

Kembali pada judul puisi /AKU PILIH MARUN KAU SUKA UNGU/. Diksi dari judul puisi ini bisa menimbulkan aroma adanya dugaan keterbelahan, berlawanan atau pun ketidak sepahaman antara tokoh /aku/ lirik dan /kau/ lirik. Walaupun demikian masih sebatas ungkapan yang sama sama di dalam ranah warna sebagai diksi pembandingnya.

Atau bisa dimaknai dengan logika bahasa bahwa /AKU PILIH MARUN/ sedangkan /KAU SUKA UNGU/. Bisa jadi ungkapan ini mempunyai makna bercanda, atau mungkin juga ada kandungan ungkapan serius. Dikatakan bercanda karena kesebandingannya sama sama menyangkut soal warna, yang bisa berujung ada semacam sindiran saja.

Dikawatirkan serius karena warna yang diusung bisa berarti bertolak belakang antara tokoh /aku/ lirik dan tokoh /kau/ lirik. Untuk lebih memahami makna dari diksi tersebut,

sepertinya penikmat puisi perlu memindai ke bait yang terkait langsung dengan kosa kata yang dimaksud, yaitu di bait ke 3, seperti di bawah ini

/3.
“seiring tapi tak sejalan atau sejalan tapi tak seiring?
aku pilih marun kau suka ungu.”/

Baris ke dua di bait ke 3, tertulis /”aku pilih marun kau suka ungu.”/ diksi ini terasa seperti ada semacam argumentasi dari pernyataan Sang Penyair yang ada di baris pertama di bait 3, yaitu: /“seiring tapi tak sejalan atau sejalan tapi tak seiring?”/. Atau dengan kata lain, bahwa baris ke dua di bait ke 3 di atas merupakan jawaban dari pertanyaan:

“Kenapa dinyatakan sebagai /“seiring tapi tak sejalan atau sejalan tapi tak seiring?/?”

Jawabnya:

“Karena /aku pilih marun kau suka ungu/”.

Kemudian timbul pertanyaan lagi:

“Siapa yang dimaksud dengan /”seiring tapi tak sejalan atau sejalan tapi tak seiring?/ ?”
Potensi jawabannya adalah: “tokoh /aku/ lirik, dan tokoh /kau/ lirik”.

Selanjutnya berpotensi timbul tanya lagi:

“Siapa pula yang dimaksud dengan “tokoh /aku/ lirik, dan tokoh /kau/ lirik ?”

Untuk menjawab pertanyaan ini, sepertinya perlu memindai bait 1 dan bait 2. Bait bait ini berpeluang sebagai latar belakang dan atau pendahuuan, kira kira kenapa timbul argumentasi /aku pilih marun kau suka ungu/ dari pernyataan /“seiring tapi tak sejalan atau sejalan tapi tak seiring?”/. Untuk mempermudah urutan, masing masing baris diberi nomor urut di dalam kurung. Adapun bait 1 seperti di bawah ini.

/1.
hidup kadang memang begitu (1)
tak sesuai inginmu (2)
sebagai bunga yang tak pernah layu (3)
yang hanya mencintai sajak-sajak gila penyair senja (4)
aku sering kali pura-pura (5)
bahagia di atas kelopak kata-kata (6)
dibuai-rayu metafora/ (7)

Baris baris puisi di bait 1 berpeluang mengandung isyarat adanya semacam kisi kisi jawaban dari pertanyaan di atas yang belum terjawab, selama pengembaraan menikmati puisi besutan Penyair Dwita Utami. Pengembaraan ini dimulai dari judul, langsung ke bait 3, dan kembali ke bait 1. Baris (1) sampai dengan (4), telah memberi informasi bahwa /hidup kadang memang begitu tak sesuai inginmu, sebagai bunga yang tak pernah layu, yang hanya mencintai sajak-sajak gila penyair senja/.

Di baris ke (2) muncul tokoh /mu/ lirik yang identitasnya patut diduga ada di baris (3) dan (4), yaitu: /sebagai bunga yang tak pernah layu, yang hanya mencintai sajak-sajak gila penyair senja/. Diksi /sebagai bunga yang tak pernah layu/ bisa ditafsir sebagai bentuk keinginan dari tokoh /mu/ lirik. Sedangkan diksi /yang hanya mencintai sajak-sajak gila penyair senja/ merupakan identitas lanjut dari tokoh /mu/ lirik. Sehingga dapat dipindai bahwa tokoh /mu/ lirik ini mempunyai dua identitas, yaitu: merupakan tokoh yang mempunyai keinginan /sebagai bunga yang tak pernah layu/, dan sebagai sosok /yang hanya mencintai sajak-sajak gila penyair senja/.

Dari sini timbul hasrat untuk menyelidiki: Siapakah tokoh /mu/ lirik ini, Apakah sebagai tokoh nyata orang ke dua tunggal, atau kah tokoh persembunyian dari Sang Penyair yang disamarkan dalam sebutan /mu/ lirik. Sehingga dapat dikatakan bahwa tokoh /mu/ lirik ini sebenarnya berkesempatan untuk diperkirakan tidak lain adalah Sang Penyair itu sendiri,

atau orang lain yang dipuisikan oleh Penyair berdasarkan hasil memotret peristiwa orang lain. Untuk memastikan dugaan ini, telisik dilanjutkan pada baris berikutnya, yaitu:

/aku sering kali pura-pura (8)
bahagia di atas kelopak kata-kata (9)
dibuai-rayu metafora/ (10)

Telisik lanjutan ini akan memindai tanda tanda dan atau penafsiran seperti dalam langkah telisik secara semiotik-hermeneutik [7], dan cara intertekstual diantara baris maupun bait puisi [8], sehingga dapat diketahui bahwa tiga baris terakhir di bait 1 memberikan isyarat keterhubungan dengan empat baris sebelumnya melalui munculnya tokoh /aku/ lirik di baris ke (8) di bait 1. Dalam diksi puisi, tokoh /aku/ lirik menyatakan bahwa /aku sering kali pura-pura bahagia di atas kelopak kata-kata, dibuai-rayu metafora/.

Dari pemindaian diksi tokoh /mu/ lirik di baris ke (2) dan tokoh /aku/ lirik di baris ke (5)  yang masih berada di satu bait, yaitu di bait 1, mengindikasikan bahwa khusus di bait 1

Sang Penyair menyebut dirinya sendiri dengan sebutan /mu/ dan atau /aku/.

Diksi /tak sesuai inginmu (2)/ dugaan artinya adalah keinginan Sang Penyair, dan diksi

/aku sering kali pura-pura (5)/ prediksi maknanya yaitu bahwa aku adalah Sang Penyair itu sendiri yang sering berpura pura. Demikian makna, logika, dan rasa yang mungkin agak mendekati titik terang dalam menafsirkan tentang tokoh /mu/ lirik, dan /aku/ lirik.

Selanjutnya untuk lebih mendalami makna, logika, dan rasa tentang tokoh /mu/ lirik, dan /aku/ lirik, maka sebagai langkah sewajarnya, jika penikmat puisi melanjutkan pemindaian diksi di bait 2, seperti di bawah ini.

/2.
aku sering kali lupa (1)
pada realitas hidup yang tak pernah alpa (2)
menyapa hati retak kaca
(3)/

Bait 2 menuliskan kembali tokoh /aku/ lirik melalui sajak yang bergaya kalimat pernyataan, tanpa argumentasi. Jika dibaca dari bait 1, dan bait ke 2 ini seolah menjadi penegasan dari isi substansi di bait 1. Hal ini terbaca pada tulisan /aku sering kali/ muncul dua kali, yaitu di

bait 1 baris ke (8): /aku sering kali pura-pura, dan di bait 2 baris ke (1): aku sering kali lupa.

Pura pura bahagia, dan lupa pada realita kehidupan, yang kadang seakan perlu di daur ulang, agar retak kaca bisa dilebur dan bikin kaca baru, atau pun ganti kacanya. Jika bisa!

Dari telaah singkat bait 2, kemudian kembali meninjau ke bait 3, maka tidak heran

jika Sang Penyair menyodorkan diksi di bait 3, sebagai judul puisinya /aku pilih marun kau suka ungu/. Satu diantara rahasianya karena: telah lupa, /dibuai-rayu metafora/.

Benar kata orang: “Metafora kadang begitu mempesona!“

3. SELAMAT BERPUISI

Setelah menikmati sekilas puisi besutan Penyair Dwita Utami yang berjudul /AKU PILIH MARUN KAU SUKA UNGU/, dari mulai judul, bait, dan baris barisnya, dapat diperkirakan bahwa Penyair sedang menyampaikan pikiran dan atau perasaannya sendiri, atau pun pikiran dan perasaan orang lain di dalam bait bait puisi. Ternyata usaha Sang Penyair berpotensi berujung pada pilihan yang sulit, karena adanya sosok lain yang seiring tapi tak sejalan atau sejalan tapi tak seiring, serta telah terjadi pilihan yang berbeda antara marun, dan ungu. Peristiwa tersebut terjadi justru di kala senja dengan sajak sajak gilanya. Hm….

Selamat berpuisi, dan teruslah berpuisi!

REFERENSI:

  1. Teguh Aei Prianto, 2022, Metafora dan Permainan Citra Singkong Versus, https://www.kompasiana.com/teguh.ari.prianto/63379dbc08a8b52b144f5816/metafora-dan-permainan-citra-singkong-versus-keju
  2. Irwan Syahputra, 2020, The Analysis on Symbol of Shadowhunter as Seen in Cassandra Clare’s Mortal Instruments, Jurnal Ilmiah Langue and Parole, Vol. 4 No. 1 (2020)
  3. Berita terkini, 2021, 5 Hasil Campuran Warna Merah yang Indah, https://kumparan.com/berita-terkini/5-hasil-campuran-warna-merah-yang-indah-1x1gg3XFO93/3
  4. Dra Henilia, M.Hum, 2021, Penyimpangan Bahasa Dalam Sebuah Puisi, Juripol, Volume 4 Nomor 2 September 2021, Jurnal Insitusi Politeknik Ganesha Medan
  5. Steven K. Khan, 2016, Maroon Theory and Me-thou-poiesis, Journal of the Canadians Associations for Curriculum Studies (JCACS), Volume 13, November 2, 2016
  6. Tim Editorial, 2022, Arti Warna Ungu dan Karakter Kepribadiannya, Halodoc, https://www.halodoc.com/artikel/warna-ungu-dalam-psikologi-melambangkan-apa
  7. Heri Isnaini, 2022, Semiotik-Hermeneutik pada Puisi “Perjalanan Ke Langit” Karya Kuntowijoyo, Vol. 3 No. 1 (2022), http://journal.stkipsubang.ac.id/index.php/aksentuasi/article/view/266
  8. Septoriana Maria Nino, 2020, Intertekstualitas Puisi “Di Jembatan Mirabeau” karya Agus R. Sarjono dan Le Pont Mirabeau karya Guillaume Apollinaire, NUSA, Vol. 15 No. 3 Agustus 2020, https://ejournal.undip.ac.id/index.php/nusa/issue/view/2925
  9. Dedeh Ayu Aden Prastika Songohano, Aris Badara, dan Sumiman Udu, 2019, Gaya Bahasa Perbandingan Dan Penegasan Dalam Novel Kutukan Tanah Buton Karya Safarudin, Jurnal BASTRA (Bahasa dan Sastra), Vol. 4 No.1, Edisi Januari 2019/e-ISSN: 2503-3875/ http://ojs.uho.ac.id/index.php/BASTRA

 

Penulis: Kek Atek
Pegiat Komunitas Dapoer Sastra Tjisaoek, &

Penikmat Puisi, tinggal di Rumpin, Kab. Bogor, Jawa Barat, Indonesia

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *