Food is not rational. Food is culture, habit, craving and identity.”

-Jonathan Safran Foer-

Sepertinya, kutipan dari penulis ‘Eating Animals’ tersebut sangat pas dengan apa yang akan kita bahas. Indonesia merupakan negara yang menjadi lintas perdagangan dua benua. Tentu saja membuat negara ini memiliki keanekaragaman bumbu, bahan makanan, juga teknik memasak, baik dari Melayu sendiri, India, Timur Tengah, Tionghoa, juga Eropa. Belum lagi dengan adanya ratusan suku etnik, 700 bahasa, dan keberagaman budaya, membuat banyak sekali kuliner Indonesia yang kelezatannya sudah diakui dunia. Sebut saja; Sate, Nasi Goreng, dan gado-gado pasti banyak sekali turis mancanegara yang langsung paham nama-nama makanan tersebut.

Akan tetapi, kita juga tidak boleh lupa dengan makanan legendaris khas Kota Pelajar, Yogyakarta, yakni Gudeg. Gudeg juga menjadi satu di antara delapan makanan Indonesia yang mendunia versi blog.reservasi.com. Meskipun gudeg bukan satu-satunya makanan khas yang ada di kota ini, tapi, ada ungkapan yang menyebutkan, bahwa: ‘’kamu belum bisa disebut datang ke Yogyakarta, kalau belum nyicipin gudegnya”. Hal ini ternyata langsung berpengaruh terhadap melonjaknya ketenaran gudeg, dan menjadikan kota Yogya yang sudah berumur 264 tahun itu juga dikenal sebagai Kota Gudeg.

[iklan]

Makanan berbahan dasar nangka muda yang dimasak dengan bumbu juga rempah-rempah ini, dibagi menjadi tiga jenis:

  • Gudeg Basah, yakni gudeg yang dimasak dengan menyisakan sedikit kuah. Biasanya, gudeg jenis ini bertahan hanya beberapa jam saja.
  • Gudeg Kering, teknik memasaknya sampai benar-benar kering dan tidak menyisakan kuah, biasanya disajikan dengan Blondo (ampas minyak kelapa), makanan pendamping lainnya, bisa berupa ayam kampung, krecek, tahu dan tempe semur. Gudeg kering memiliki daya tahan penyimpanan lumayan lama, bisa 24 jam atau hingga dua hari, sehingga, gudeg kering sering dijadikan rekomendasi oleh-oleh bagi turis lokal yang berkunjung ke Yogyakarta.
  • Gudeg Solo, ciri khas gudeg ini adalah santannya berwarna putih

Ada anekdot yang berkembang di masyarakat mengenai makanan tradisional ini, konon, warna cokelat dalam kuah Gudeg Yogya, didapat dari darah ayam yang dicampurkan saat memasak, faktanya, warna merah kecolatan itu didapat dari daun Jati.

Jika menilik sejarah asal muasal makanan ini, banyak sekali sumber yang menyebutkan, bahwa, gudeg pertama kali dibuat pada saat kerajaan Mataram Islam dibangun di hutan Mentaok, Kotagede Yogyakarta, sekitar tahun 1500-an.

Saat hendak mendirikan Kesultanan Mataram Islam, Panembahan Senopati harus membuka hutan belantara yang dikenal dengan sebutan Alas Mentaok. Para prajurit dan kaum pekerja bersama-sama membabat hutan yang kelak di kemudian hari bernama Yogyakarta ini. Ternyata, di hutan ini banyak terdapat pohon nangka dan pohon kelapa.

Nangka muda dan kelapa itu kemudian diolah untuk santapan bersama. Nangka muda dimasak dengan santan kelapa ditambah gula aren, berbagai macam bumbu, serta rempah-rempah, di dalam kuali besar yang diaduk-aduk dengan menggunakan sendok besar mirip dayung.

Munurut Murdijati Gardjito dan Eva Lindha Dewi Permatasari dalam Gudeg Yogyakarta; Riwayat, Kajian Manfaat, dan Perkembangan untuk Pariwisata, disebutkan bahwa, Gudeg sudah masuk dalam Serat Centhini. Ensiklopedi Jawa itu ditulis pada 1742 Tahun Jawa atau 1814 Masehi. Diceritakan, saat Raden Mas Cebolang bertandang ke padepokan Pangeran Tembayat, pada siang harinya disuguhi oleh tuan rumah menu gudeg. Dari catatan Serat Centhini pun dapat diketahui, gudeg saat itu bukan hanya dibuat dari bahan nangka muda, namun juga manggar.

(Titis Nariyah)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *